Rabu, 19 Agustus 2015

PERAN IBU DALAM PENDIDIKAN ANAK

PERAN RUMAH DALAM PENDIDIKAN ANAK (Bag. II)

            Syaikh Dr. Khalid Ahmad Asy-Syantut Rahimahullah sebagai pakar Pendidikan dari King Abdul Aziz University Jeddah Arab Saudi, beliau selalu menyertakan peran Ibu dalam pendidikan anak. Hal ini tidaklah heran karena besarnya peran ibu dalam pendidikan anak, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Pepatah mengatakan : “Sesungguhnya di belakang setiap tokoh yang agung ada seorang wanita yang agung.” Berikut ini akan kita bahas peran ibu dalam pendidikan anak.

          Sejak dahulu kala, wanita mempunyai peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata apalagi dilupakan, terutama jika ada pihak yang mengasuhnya dan membawanya kepada kebenaran dengan pendidikan dan pembinaan yang baik, bahkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam telah menjamin baginya surga. Dari hasil pembinaan yang dinamis terhadap wanita, maka akan lahirlah wanita yang mampu memberi buah yang teramat ranum dan pohon-pohonnya menaungi alam semesta dengan kedamaian dan kebaikan.

Wanita (ibu) ibarat pedang bermata dua, apabila dia baik dan menunaikan tugas-tugasnya yang utama beserta tujuan yang terlah digariskan, maka dia laksana batu bata yang biak bagi sebuah bangunan masyarakat islam yang memiliki karakter akhlak yang kuat dan keyakinan yang teguh. (Mahmud Mahdi al-Istambuli dalam muqoddimah Nisaa Haula Rasul).

Syaikh Dr. Khalid Ahmad Asy-Syantut Rahimahullah melanjutkan bahwa peran ibu dalam pendidikan lebih dahulu bermain daripada peran ayah, karena seorang ibu lebih dekat kepada anak, dan anak adalah bagian darinya, serta emosi ibu kepada anak lebih kuat daripada emosi seorang ayah. Dari sinilah pentingnya memilih istri yang agamanya baik.
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan suatu hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kemuliaan nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka nikahilah wanita yang baik agamanya niscaya kamu beruntung.”

Seorang penyair berkata :
الأم مدرسة إذا أعددتها     أعددت شعبا طيب الأعراق
Ibu adalah madrasah (tempat belajar) bila kau mempersiapkannya, kau telah menyiapkan bangsa yang hebat.

Allah telah membekali seorang ibu dengan naluri keibuannya yang tidak diberikan kepada seorang ayah. Naluri ini secara fisik merupakan naluri yang paling kuat dari semua naluri fisik lainnya. Para Ahli ilmu kejiwaan telah melakukan penelitian pada tikus, dan dari percobaan itu mereka telah menemukan bahwa stimulan fisik seorang ibu akan menghasilkan berbagai hal sebagai seperti : keibuan, kehausan, kelaparan, dan seksualitas. Karena itu, seorang ibu siap untuk melindungi anak dan berkorban demi anaknya, baik dalam kondisi istirahat maupun tidur, sedangkan dirinya tetap ridha.

Factor tersebut dapat membuat ibu kuat untuk bergadang demi kenyamanan anaknya, terutama pada usia dua tahun pertama, dimana peran seorang ayah pada saat seperti itu masih sangat sedikit. Dua tahun pertama memiliki pengaruh sangat besar terhadap kepribadian anak. Ilmu kejiawan belum bisa mendeteksi dimanakah letak rahasianya. Diantara fenomena itu, bahwa bayi dapat mengenali ibunya dari baunya, kemudian mengenali suaranya. Sebagaimana pula bahwa bahasa ibu merupakan bahasa pertama yang diikuti oleh anak. Mayoritas emosi seorang anak pada tahun pertama berkaitan dan terpusat pada ibu, atau orang yang menggantikan peran ibu tersebut. (Daur Bait Fii Tarbiyatith Thiflil Muslim).

Konsep pendidikan islam adalah konsep pendidikan yang berlandaskan wahyu, bukan konsep percobaan atau penelitian. Maka bagi seorang muslim harus menyakini, membenarkan dan melaksanakan apa yang Rasulullah sampaikan. Tanpa perlu meneliti dan mengkaji kembali. Sebagian kaum muslimin baru meyakini konsep Nabi adalah konsep terbaik setelah para peneliti Barat membuktikan kemukjizatan Nabi. Bagi kaum muslimin yang taat pada Allah dan Rasul-Nya hendaknya mendahulukan perkataan keduannya dibandingkan dengan yang lain. Bila kita sudah paham konsep Nabi yang terbaik, maka untuk apa mencari konsep yang lain.

Selanjutnya, bila kita sudah paham bahwa anak sejak bulan keenam telah mulai terbentuk hubungan socialnya dengan lingkungann sekitarnya, maka menjadi jelaslah bagi kita pentingnya peran ibu bagi pendidikan anak. Seorang peneliti, Samiyah Hamam menemukan bahwa dampak ketidak hadiran ibu jauh lebih besar daripada dampak ketidak hadiran ayah bagi anan-anak. Karena ibu yang bijaksana dapat mengisi sebagian kekosongan yang tidak diisi oleh ayah.

Mengingat pentingnya peran ibu dalam pendidikan, kita akan mengisyaratkan keistimewaan syariat islam yang telah megumpulkan alasan-alasan yang cukup untuk menjadikan seorang ibu berada dalam posisi yang tepat sesuai dengan tujuan Allah menciptakannya. Sehinga kaum ibu bisa beribadah kepada Allah dalam rumahnya sendiri. Diantara alasa-alasan tersebut adalah :
1.      Asal dari wanita adalah tinggal dirumah. Allah berfirman : “Dan berdiamlah kalian di rumah-rumah kalian…. (QS. Al-Ahzab 33 : 33).
Allah juga menjadikan shaltnya wanita dirumah lebih utama daripada shalat di masjid.
2.      Laki-laki (suami, ayah, anak laki-laki, atau saudara laki-laki) dibebani menafkahi seorang wanita (atau istri), agar dia bisa nyaman di rumah dan focus terhadap tugas yang sebenarnya.

Mari kita lihat bagaimana Al-Qur’an, hadist dan Atsar ulama yang mengisahkan betapa pentingnya peran ibu bagi anak, dan ibu mampu mendidik anaknya tanpa seorang ayah. Diantara kesuksesan seorang ibu adalah Hajar. Ia wanita teladan dalam akhlaknya yang baik dan perilakunya yang indah. Ia mendidik anaknya, Nabi Ismail, dan mengasuhnya sejak kecil hingga dewasa, sehingga akhirnya Nabi Ismail menjadi orang yang mampu mendaki di tangga kehidupan.
Hajar menggadaikan kehidupannya agar anaknya hidup dengan kehidupan yang baik dan anaknya adalah buah ranum yang mendatangkan manfaat dengan izin Allah. Siapa saja yang membuka lembaran kehidupan Nabi Ismail, ia pasti mendapati kehidupannya serat dengan aroma wangi dan parfum harum. Kehidupan Nabi Ismail Alihis Salam menegaskan bahwa beliau adalah seorang laki-laki dengan segala makna laki-laki itu sendiri. Beliau sabar terhadap musibah dan cobaan yang datang kepadanya, ridha dengan qadha’ dan takdir Allah. Beliau tanaman baik milik ibu yang juga baik. Apakah semua ini terjadi begitu saja tanpa adanya pendidikan dan peran seorang ibu ?
Kisah sebaiknya, kita lihat contoh pada Istri Nabi Nuh Alahis Salam yang gagal dalam mendidik anaknya, akhlak buruk lebih mendominasinya, akibatnya fitrahnya hancur lebur dan ia tidak mampu mendidik anaknya dengan baik. Akibatnya, anaknya menjadi kafir seperti dirinya. Pada kedua contoh diatas, kita lihat bahwa ayah keduanya adalah Nabi dan keduanya pasti mendidiknya dengan baik tanpa ada keragu-raguan didalamnya. Tapi, ibu mempunyai peran lebih besar dan lebih perpengaruh pada anak-anaknya.

Contoh lain ada pada Mariyam binti Imran yang mampu mendidik Isa Alahis Salam, Asiah istri Fir’aun yang sukses mendidik Musa Alaihis Salam ditengah keluarga yang dictator dan kejam. Dalam buku yang ditulis oleh Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, MA Hafidhohullah yang berjudul “Ibunda Para Ulama, beliau menulis beberapa ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in yang sukses dalam mendidik anaknya. Atau buku yang ditulis oleh Syaikh Dr. Abdullah Al-Luhaidan dan Syaikh Dr. Abdullah al-Muthawwi’  yang berjudul Aitam Walakin Udzoma menyebutkan beberapa ulama yang lahir dalam keadaan yatim, diantaranya sahabat Nabi, Zubair bin Awwam, Abu Hurairah, Umar bin Sa’id al-Anshari Radhiallahu Anhum, atau ulama seperti Imam Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syaikh Al-Amin Asyinqithi, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Syaik Abdul Aziz bin Baz dan yang lainnya. Dari contoh kehidupan diatas, maka jelaslah bahwa peran ibu sangat penting bagi pendidikan anak. Maka musuh-musuh islam sangat gencar memperdayai wanita agar keluar dari fitrahnya.

Lihatlah bagaimana campur tangan Yahudi Internasional dan para agennya dalam merusak jati diri wanita. Karena dengan rusaknya wanita berarti kerusakkan bagi keluarga dan kehancuran masyarakat sekaligus bangsa. Sebagaimana ini hampir terjadi diseluruh dunia. Saya perhatikan di beberapa Negara yang berada dibawah penindasan kolonialisme dalam waktu yang lama, mereka (para penjajah) lebih terfokus untuk merusak wanita daripada merusak pria, berangkat dari kesadaran mereka tentang pentingnya peran wanita dalam masyarakat. Selain itu keluarnya wanita dari rumah untuk bekerja bukanlah suatu kebetulan belaka, tetapi merupakan hasil rancangan kaum kapitalis yang dikendalikan oleh Yahudi yang bertujuan menghancurkan keluarga. (Dr. Khaid Ahmad Asy-Syantut, Tarbiyatul Banaat Fii Baitil Muslim, hal. 14-15).

Para gembong penjajah berkata : “Gelas (khamr) dan biduanita, akan sanggup menghancurkan umat Muhammad lebih hebat dari seribu mariam, maka propogandakanlah kepada mereka kecintaan terhadap materi dan syahwat". Seorang dedengkot Masoniah (salah satu organisasi Yahudi) berkata : “Kewajiban kita adalah untuk memperalat wanita, kapan saja mereka siap mengeluarkan kedua tangannya kepada kita sehingga mereka menghiasi yang haram dan mempropogandakan para pahlawan pembela islam.
Telah disebutkan dalam protokolat, “Kita harus bekerja keras untuk merusak akhlak di setiap tempat untuk mempermudah rencana kita, sesungguhnya Sigmund Freud berada dipihak kita. Dia akan mempropogandakan pergaulan bebas di segala penjuru hingga tidak ada lagi istilah tabu bagi para pemuda, maka jadilah kemauan mereka yang utama adalah melampiaskan nafsu libidonya, maka ketika itu akan hancurlah akhlaknya." (Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam Tarbiyatul Aulad I/286-287).

Dari pernyataan mereka diatas, tentunya program mereka sangat sukses. Mereka sukses mengeluarkan wanita dari fitrahnya. Ketika wanita keluar dari rel agama. Maka bukan saja dirinya yang rusak. Akan tetapi generasi muda, keluarga, masyarakat dan Negara akan hancur.

Sebagian wanita mungkin bertanya :”Bukankah pengasuh (baby sitter), pendidikm atau pembantu dapat menggantikan posisi ibu yang harus keluar untuk bekerja di luar rumah ?” Jawaban untuk pertanyaan tersebut sederhana. Bahwa hubungan antara ibu dan anak adalah hubungan fisik dengan seluruh maknanya, karena anak adalah bagian darinya. Disamping itu, factor keibun akan mendorongnya untuk menghiasi dan menjaga anaknya. Factor lainnya adalah ibu merawat anaknya dengan dorongan cinta, bukan dorongan kewajiban, seperti yang dilakukan oleh pengasuh atau pembantu. Terdapat perbedaan besar antara cinta dan kewajiban. Seorang ibu akan menemukan kegembiraan dan kebahagiaan saat memandikan anaknya, karena ia ingin memperbaiki kondisinya. Sementara pengasuh dan pembantu akan merasakan lelah dan bosen dengan pekerjaan itu, bahkan muak ketika mengerjakan tugasnya. Sang bayi pun akan merasa muak dan bosen sebagaimana dia bisa merasakan ridha, cinta dan kasih sayang ketika melihat wajah ibunya, ketika ibunya memandikan dan menyusuinya.

Alexs Karl sangat paham betul tentang peran seorang ibu, ia pernah berkata; “Masyarakat modern telah melakukan kesalahan serius dengan menggantikan pendidikan dilingkungan keluarga dengan pendidikan di sekolah secara TOTAL. Oleh karenanya, ibui-ibu meniggalkan anak-anak mereka pada masa menyusui". (Laila Al-Iththar, hal. 62).

            Oleh karena itu, hendaknya setiap wanita (ibu) untuk bertaqwa kepada Allah dan meniti jalan para salafush shalih dalam mendidik anak-anaknya. Sehingga pada akhirnya lahirlah dari rahim-rahim mereka orang-orang yang shalih. Untuk laki-laki posisikanlah wanita diposisi yang agung. Jagalah mereka dengan penjagaan yang baik, beruamalahlah dengannya dengan akhlak dan adab yang indah. Wallahu A’lam.

Jakarta, 5 Dzulqo’dah 1436 H / 20 Agustus 2015 M

Abu Rufaydah bin Unib Hafidhohullah.

Selasa, 18 Agustus 2015

ORTU ADALAH GURU


Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, perihalalah dirimu dan keluargamu dari api neraka… (At-Tahriim : 6).

Ayat ini menunjukan bahwa mendidik adalah suatu kewajiban dan kewajiban mendidik ada pada orang tua.

Imam Asy-Syafi’I Rahimahullah berkata : “Para orang tua dan ibu wajib mengajarkan anak-anak mereka yang kecil tentang hal-halyang harus mereka ketahui sebagai bekal mereka baligh. Orang tua harus mengajarkan mereja bersuci, shalat, shaum, dan sejenisnya, juga mengajarkan tentang keharaman zina dan liwath.

Imam An-Nawawi Rahimahullah berpendapat sama tentang hak tersebut. Bahkan Imam An-Nawawi membuat Bab dalam Kitabnya Riadhush Shalihin dengan judul “Kewajiban Memerintahkan Keluarga dan anaknya yang sudah beranjak dewasa…(Riyadhush Shalihin no. 305).

Imam Ibnu Qoyyim Rahimahullah berkata : “Bahwa kewajiban mendidik dan mengajar anak, berdasarkan ayat ii serta penafsiran ulama salaf terhadapnya. Yaitu mereka berkata : “perihalalah dirimu dan keluargamu dari api neraka… (At-Tahriim : 6). Artinya ajarkan dan didiklah mereka.
Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata : “Peliharalah mereka untuk ta’at kepada Allah dan ajarkan mereka kebaikkan.” (Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/397).

Adapun dalil-dalil yang menjelaskan kewajiban mendidik anak ada pada orang tua adalah sebagai berikut :
1.      Ajarkanlah shalat pada anak kalian pada usia tujuh tahun, pukullah mereka jika mereka enggan pada usia sepuluh tahun, pisahkan antara tempat tidur anak laki-laki dan perempuan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya).

2.      Tidak ada pemberian yang lebih baik dari orang tua kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Ahmad dan At-Tirmizi).

3.      “Bahwa seseorang dari kalian mendidik ananya, itu lebih baik baginya daripada ia bersedekah setiap hari sebanyak setengah sha’ kepada orang-orang miskin.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi).

4.      Dari Sa’id dan Ibnu Abbas Radhiallahu Anhum berkata Rasulullah bersabda : “Siapa yang mendapatkan anak, maka hendaknya ia memberi nama yang baik dan mendidiknya dengan baik. Dan jika ia telah mencapai baligh, maka hendaknya ia menikahkannya, karena jika anak mencapai baligh tapi tidak menikahkannya, kemudian anaknya berbuat zinz, niscaya dosanya ditanggung orang tuanya.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman 8299, hadits ini didho’fkan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Silsilah Adh-Dha’ifah 737 karena didalamnya ada Syaddad bin Sa’id Ar-Raasibi).

5.      Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma berkata : “Ajarkanlah anakmu, karena engkau akan ditanyakan tentang dirinya, apa yang engkau telah didik kepadanya ? Apa yang engkau ajarkan kepadanya ? Dan sebaliknya ia akan dipertanyakan tentang baktinya kepadamu serta ketaatannya kepadamu.” (Syu’abul Iman 6/400 hadits no. 8662).

6.      Dan masih banyak Atsar dari para ulama yang menjelaskan hal ini diantaranya Abu Abdillah Adil Al-Ghomidi dalam kitab Al-Jaami Fii Ahkami wa Adabish Shibyaan hal . 21-26).

Dengan dasar inilah para ulama salaf tidak menganggap mudah pendidikan. Bahkan sebaliknya mereka melihat bahwa pendidikan adalah suatu kewajiban agama, yang sama setatusnya seperti shalat, puasa, shaum dan kewajiban agama lainnya. Oleh karena itu, ketika mereka berbicara tentang rukun-rukun dan kewajibannya, mereka juga menekankan masalah pendidikan sehingga orang tua dan para pendidik tidak menganggap pendidika sebagai perkara yang sunnah, tanpa adanya beban baginya. Padahal kenyataannya sebaliknya, yaitu jika ia mendidik maka ia dijaga dan diselamatkan dari api nereka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu. Sebaliknya, jika ia melakukan atu menyia-nyiakan, niscaya dirinya dan keluarganya tidak dijaga dari api neraka…. (Syaikh Abdul Mun’im Ibrahim dalam Tarbiyatul Banaat fil Islam).

Kenyataan saat ini banyak orang tua yang menitipkan pendidikan anak sepenuhnya kepada guru. Dengan berbagai banyak alasan. Sebagian mereka ada yang menempuh pendidikan serjana, Lc, Magister sampai doctor, tapi pendidikan yang ia tempuh dan gelar yang ia raih diberikan kepada orang lain, bukan kepada anaknya. Sebagian yang lain mengaggap masa depan anaknya ada pada uang, baginya uang adalah segalanya. Yang paling miris yaitu ortu berangkat sebelum anak bangun dan datang ketika anak tidur.

Betapa pilu hati ini menyaksikan orang tua yang semasa muda bekerja keras, peras keringat banting tulang demi masa depan anaknya. Namun apa balasan yang ia terima ? di saat tubuh ortu sudah renta, si anak tak segan-segan membentaknya seperti membentak seekor binatang yang hina. Maka jangan heran jika suatu saat nanti anak menjadi durhaka karena ortu melalaikan pendidikan anak diusia dini.

Seorang bapak mengadukan kedurhakaan anaknya kepada Umar bin Khaththab Radhiallahu Anhu, maka Umar meminta kepadanya untuk dipertemukan dengan anaknya. Lalu Umar bertanya kepada anak tersebut. Iapun menjawab : “Sesungguhnya ayahku menamaiku dengan Ju’ul (binatang sejenis kumbang), dan tidak mengajariku al-Qur’an walaupun satu ayat…. Kemudia Umar berkata kepada ayahnya, :”Sesungguhnya engkau telah durhaka kepada anakmu, sebelum anakmu durhaka kepadamu”. (Tarbiyatul Aulad fil Islam 1/127).

Pendidikan anak adalah tanggungjawab orang tua. Maka sebelum anak dididik oleh orang lain, hendaknya orang tua menjadi guru pertamanya. Dan jangan serahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada orang lain, tanpa ada pengawasan dari orang tua. Lihatlah bagaimana anak wanita dari Sa’id bin Musayyib Rahimahullah ia menguasai ilmu ayahnya saat ia dinikahkan dengan Ibnu Abi Wada’ah atau Abdullah anak dari Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah yang belajar kepadanya tentang agama. Jika alasan kita tidak mampu mengari anak disebabkan minimnya ilmu agama yang kita miliki, maka mulai saat ini belajarlah kembali, karena tidak ada kata terlambat dalam belajar.  

Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Furqon: 74).
Wallahu A’lam

Bekasi, 3 Dzulqo’dah 1436 H / 18 Agustus 2015 M
Abu Rufaydah bin Unib Hafidhohullah


PERAN RUMAH DALAM PENDIDIKAN ANAK


Jika rumah, sekolah dan masyarakat merupakan pilar-pilar pendidikan dasar, maka rumah adalah pilar pertama lagi utama dan paling kuat dari semua itu. Rumah menampung anak sejak tahap pertamanya. Waktu yang dihabiskan oleh anak-anak di rumah pun lebih besar dibandingkan di tempat yang lain, dan bahwa orang tua adalah orang yang paling berpengaruh bagi anak. (Manhaj Tarbiyah Islamiyah 2/93 dan Tarbiayul Athfal Fiil Hadits Asy-Syarif)

Jika peran rumah, sekolah dan lingkungan dibagi dengan prosentase sederhana, rumah memiliki peran 60 %, sekolah 20 % dan lingkungan 20 % . Dengan akumulasi waktu yang dihabiskan anak-anak ditiga tempat tersebut, maka seberapapun kerusakan yang terjadi di sekolah dan lingkungan tidak akan berpengaruh besar pada anak. Namun sebaliknya jika peran rumah rendah, maka anak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan diluar rumah.  

Diantara kegagalan pendidikan adalah ketika orang tua beranggapan bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab sekolah atau pesantren. Inilah yang akan mengakibatkan anak merasa bebas ketika berada di rumah, karena anak-anak merasa pendidikan hanya ada di sekolah atau pesantren.  
Pentingnya peran rumah tampak jelas ketika kita diingatkan bahwa anak dilahirkan dalam kondisi fitrah dan diterima (mulai dibentuk) di rumah dalam keadaan seperti itu pula. Rumah bisa tetap meneguhkan fitrah itu atau malah menyimpangkannya. Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda..
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.(HR. Al-Bukhari).
Ayah dan ibu menjadi tolak ukur baik atau tidaknya seorang anak. Terutama Orang tua paling bertanggungjawab atas aqidah, adab dan akhlak anak-anaknya yang suatu saat nanti akan ditanyakan dihadapan Allah. Sebagian orang tua ketika mendapati anaknya tidak baik, maka ia limpahkan tanggung jawab pendidikan anaknya ke sekolah. Padahal masa kanak-kanak lebih mudah dirubah apabila orang tua memperhatikan pendidikan anak dengan baik karena anak ada dalam fitrah yang baik.

Allah Yang Maha Kuasa telah meletakkan fitrah-Nya dalam anak dan menjadikan orang tuanya sebagai penjaga bagi anak yang dilahirkan tersebut, agar ia tumbuh dengan baik seperti difitrahkan Allah. Karena itu, islam sangat memperhatikan peran keluarga. Keluarga diharapkan menjadi tempat asuhan yang tenang dan tempat berlindung bagi anak. Hal ini menjadi jelas sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai hukum yang berkaitan dengan keluarga. Diantaranya adalah nafkah suami untuk istrinya, agar istri dapat berkonsentrasi menunaikan tugasnya yang besar dalam mengasuh anak keturunan.

Peranan penting rumah lainnya bagi pendidikan anak tampak jelas ketika kita tahu bahwa masa kanak-kanak bagi manusia lebih panjang dari semua masa kanak-kanak makhluk hidup lainnya. Selain itu masa kanak-kanak manusia memiliki kekhususan, berupa fleksibelitas, kepolosan, dan fitrah. Disamping itu, masanya cukup lama, sehingga pendidikan dapat menanamkan apa yang diinginkannya terhadap anak selama periode panjang tersebut. Ia dapat mengarahkan anak sesuai dengan gambaran yang telah dirancanakan, dan dapat mengidentifikasi potensi-potensinya, sehingga dapat mengarahkannya sesuai dengan apa yang bermanfaat baginya.  (Muhammad Nur Suwaid, hal. 79).

Seorang peneliti memperhatikan bahwa persiapan individu muslim yang sempurna pada saat ini adalah di rumah yang islami. Seorang bayi akan dengan cepat merasakannya, sehingga ia akan tetap berada dalam fitrah yang ditetapkan Allah kepadanya. Nantinya, anak tersebut akan tumbuh dewasa menjadi pemuda muslim, dan tidak akan berbuat menyimpang dari fitrahnya. Dalam hal ini memerlukan kesungguhan dan waktu, sebagaiman anak-anak para sahabat Rasulullah dididik.
Berdasarkan hal ini, kita berharap agar rumah tangga muslim kini mampu memainkan perannya dalam menyiapkan individu-individu luar biasa yang akan membangun generasi peradaban islam. Ketika rumah menjadi baik. Dengan izin Allah masyarakat muslim pun akan baik. Hal ini tidaklah jauh dari pertolongan Allah.
Wallahu A’lam

Jakarta, 4 Dzulqo’dah 1436 H / 19 Agustus 2015 H.

Abu Rufaydah bin Unib Hafidhohullah.

Rabu, 18 Juni 2014

SEPUCUK SURAT untuk SUNGAI NIL



Ibnu Katsir dan ahli sejarah lainnya mengisahkan: 
Sahabat Amer bin Al Ash atas perintah Khalifah Umar bin Katthab berhasil menundukkan negri mesir dan mengislamkan penduduknya.

Namun tidak selang beberapa lama dari keislaman penduduk Negri Mesir, sahabat Amer bin al Ash dikejutkan oleh satu kejadian aneh.

Sungai Nil yang menjadi sumber penghidupan penduduk setempat, di setiap tahun sekali harus diberi tumbal. Bila tidak, maka sungai Nil akan berheni mengalir.

Bukan sembarang tumbal, namun tumbal super istemewa, yaitu seorang anak gadis pingitan yang canti jelita yang didandani secantik mungkin.

Gadis tumbal tersebut diceburkan ke dalam sungai nail agar bisa mengalir kembali seperti sedia kala.

Tentu budaya ini ditentang oleh sahabat Amer bin al Ash, dengan segala konsekwensi yang terjadi.

Hampir selama tiga ulan sungai Nil berhenti mengalir, sampai-sampai penduduk setempat berencana untuk berhijrah.

Kondisi ini tentu membuat sahabat Amer bin al Ash kebingungan. Meneruskan tradisi penduduk setempat berarti berbuat kesyirikan. Tidak melakukannya, masyarakat setempat kekeringan.

Karena belum juga menemukan solusi, maka sahabat Amer bin Al Ash berkirim surat kepada Khalifah Umar bin Al Khatthab guna meminta petunjuk.

Setiba surat tersebut kepada Khalifah Umar, segera ia membalas surat gubernurnya ini

Beliau berkata: sikapmu menghentikan tradisi benar adanya, dan aku telah menirinkan satu kartu dalam amplop suratku ini. Sesampainya suratku ini kepadamu, segera lemparkan kartu itu ke sungai Nil.

Sesampai surat balasan Khalifah Umar kepada sahabat Amer bin al Ash, segera ia membuka surat tersebut, dan ternyata didapatkan satu kartu yang bertuliskan:
من عند اللَّهِ عُمَرَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ إِلَى نِيلِ مِصْرَ (أما بعد) فإن كنت تَجْرِي مِنْ قِبَلِكَ فَلَا تجرِ وَإِنْ كَانَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ هُوَ الَّذِي يُجْرِيكَ فَنَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يُجْرِيَكَ
Dari hamba Allah Umar Pemimpin kaum mukminin kepada sungai Nil negri Mesir.
Amma ba'du: bila selama ini airmu mengalir atas kehendakmu sendiri, maka jangan pernah lagi engkau mengalir.

Namun bila Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa yang menjadikan airmu mengalir, maka kami memohon kepada Allah agar mengalirkan airmu.

SUBHANALLAH, WALLAHU AKBAR. setelah kartu itu diceburkan ke sungai Nil, maka air sungai Nil mengalir seperti sedia kala.

Dan tradisi syirik larung gadis cantik jelita sirna hingga saat ini, dan tegaklah Tauhid.

Semoga Allah membalas perjuangan khalifah Umar dan sahabat Amer bin al Ash dalam menegakkan tauhid dan syari'at Islam.

Ya Allah satukanlah kami bersama kedua sahabat Nabi-Mu ini di surga. ( al bidayah wa an nihayah 7 / 100)

SEMANGAT ULAMA SALAF DALAM MENUNTUT ILMU

Alhamdulillah, rubrik Fawaid kini bisa hadir lagi untuk bertemu dengan para pembaca tercinta sekalian setelah dua tahun libur sementara, seakan-akan dia rindu dengan para pembaca dan semoga para pembaca juga merindukan kehadirannya dan bersemangat mengambil manfaat darinya.
Nah, mengawali perjumpaan kita yang baru ini, kami akan sampaikan beberapa potret semangat ulama salaf dalam menuntut ilmu dengan banyak mengacu pada kitab al-Musyawwiq ilal Qiro’ah wa Tholabil Ilmi karya Ali bin Muhammad, cetakan Dar Alamil Fawaid, Makkah. Semoga kisah-kisah mereka dapat membakar semangat kita dalam menuntut ilmu. Amiin.
Berdesakan Hingga Mengakibatkan Kematian
Ishaq bin Abi Israil mengatakan: “Para penuntut ilmu hadits berdesakan pada Husyaim sehingga membuatnya terjatuh dari keledainya, dan itulah faktor penyebab kematiannya.” (Manaqib Imam Syafi’i hlm. 167–168 oleh al-Aburri dan al-’Uzlah hlm. 89 oleh al-Khothobi)
Mirip dengan ini adalah kisah tentang sebab kematian seorang ahli nahwu tersohor yaitu Tsa’lab. Dikisahkan bahwa dia pernah keluar dari masjid usai sholat ashar pada hari Jum’at. Beliau memang sedikit tuli. Di tengah-tengah sedang asyik membaca kitab sambil berjalan, tiba-tiba ada kuda yang menabraknya sehingga dia tersungkur di sebuah lubang. Akhirnya dia ditolong dan dikeluarkan dalam keadaan berlumpur kemudian diantarkan ke rumah. Setelah itu dia merasakan sakit di bagian kepalanya dan keesokan harinya meninggal dunia. (Wafayatul A’yan 1/104 oleh Ibnu Khollikan)
Tetap Belajar Sekalipun di Depan Singa
Abul Hasan Bunan bin Muhammad bin Hamdan adalah salah seorang ulama yang dikenal banyak memiliki karomah. Suatu saat karena dia berani mengingkari Ibnu Thulun, maka dia dihukum dan dicampakkan di depan singa. Sang singa pun menciuminya tetapi anehnya dia tidak menerkam Abul Hasan. Akhirnya, dia pun dibebaskan. Orang-orang merasa heran dengan kejadian tersebut. Seorang pernah bertanya kepada beliau: “Bagaimana perasaan Anda tatkala berada di depan singa?” Beliau menjawab: “Saya tidak cemas sama sekali, bahkan saat itu saya sedang memikirkan tentang air liur binatang buas serta perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli fiqih, apakah suci ataukah najis!!!” (al-Bidayah wa Nihayah 12/158 oleh Ibnu Katsir)
Mau Dipukul Asalkan Mendapat Hadits
Dalam biografi Hisyam bin Ammar disebutkan bahwa dia pernah masuk kepada Imam Malik tanpa izin seraya mengatakan: “Ceritakanlah kepadaku hadits.” Imam Malik mengatakan: “Bacalah.” Hisyam berkata: “Tidak, yang saya ingin adalah engkau menceritakan kepadaku hadits.” Tatkala Hisyam sering mengulang-ngulang hal itu, maka Imam Malik mengatakan: “Wahai pelayan, pukullah dia sebanyak lima belas kali.” Pelayan pun memukul Hisyam lima belas kali lalu membawanya kepada Imam Malik. Hisyam berkata kepada Imam Malik: “Kenapa engkau menzholimiku? Engkau telah memukulku tanpa dosa yang kuperbuat. Aku tidak menghalalkanmu.” Imam Malik berkata: “Terus, apa tebusannya?” Hisyam menjawab: “Tebusannya adalah engkau menceritakan kepadaku lima belas hadits.” Maka beliau pun menceritakan lima belas hadits kepada Hisyam. Hisyam berkata lagi kepada Imam Malik: “Tolong tambahi lagi pukulannya sehingga Anda menambahi lagi hadits untukku.” Mendengar itu, Imam Malik tertawa seraya mengatakan: “Pergilah kamu.” (Siyar A’lam Nubala 3/4093 oleh adz-Dzahabi, cetakan Baitul Afkar)
Mirip dengan hal ini adalah kisah rihlah (perjalanan jauh untuk menuntut ilmu) yang dilakukan oleh Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Dikisahkan, ketika mereka hendak pulang, mereka singgah di Imam Abu Nu’aim Fadhl bin Dukain karena Yahya bin Ma’in ingin mengetes hafalannya. Setelah Imam Abu Nu’aim tahu bahwa dirinya sedang dites, maka dia menendang Yahya bin Ma’in. Akhirnya, Imam Ahmad berkata kepada Yahya: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu jangan mengetesnya karena dia adalah seorang yang kuat hafalannya.” Yahya berkata: “Demi Alloh, sungguh tendangannya lebih aku sukai daripada semua perjalananku ini.” (ar-Rihlah fi Tholabil Hadits hlm. 207 oleh al-Khothib al-Baghdadi)
Semangat Menulis yang Menakjubkan
As-Sam’ani menceritakan bahwa Imam al-Baihaqi pernah tertimpa penyakit di tangannya, sehingga jari-jemarinya dipotong semua, hanya tinggal pergelangan tangan saja. Sekalipun demikian, beliau tidak berhenti dari menulis, beliau mengambil pena dengan pergelangan tangannya dan meletakkan kertas di tanah seraya memeganginya dengan kakinya, lalu menulis dengan tulisan yang indah dan jelas. Demikianlah hari-harinya, sehingga setiap hari dia dapat menulis dengan tangannya kurang lebih sepuluh lembar. “Sungguh, ini adalah pemandangan sangat menakjubkan yang pernah saya lihat darinya,” kata as-Sam’ani. (at-Tahbir fil Mu’jam Kabir 1/223)
Termasuk semangat yang menakjubkan pula adalah semangat Imam Ibnu Aqil yang telah menulis sebuah karya terbesar di dunia yaitu al-Funun. Tahukah Anda berapa jilid kitab tersebut? Sebagian mengatakan sebanyak 800 jilid dan ada yang mengatakan 400 jilid. Imam adz-Dzahabi berkata: “Belum pernah ada di dunia ini kitab yang lebih besar darinya. Seseorang pernah menceritakan kepadaku bahwa dia pernah mendapati juz yang empat ratus lebih dari kitab tersebut.” (Tarikh Islam 4/29)
Sekalipun demikian besarnya kitab ini, tetapi sayangnya kitab ini termasuk perbendaharan umat Islam yang hilang, belum diketahui sampai sekarang kecuali hanya satu jilid saja yang ditemukan di perpustakaan Paris dan dicetak dalam dua jilid pada tahun 1970–1971. (Muqoddimah Kamil Muhammad Khorroth terhadap Zahrul Ghushun min Kitabil Funun hlm. 6)
Kitab Bikin Pusing Istri Ulama
Kebiasaan Imam Zuhri, kalau masuk rumah maka beliau meletakkan kitab-kitabnya bertumpukan di sekitarnya. Beliau menikmati kesibukannya tersebut sehingga lalai dari segala urusan dunia lainnya. Suatu saat istrinya pernah berkata padanya: “Demi Alloh, sungguh kitab-kitab ini lebih berat bagiku daripada tiga istri sainganku!!!” (Wafayatul A’yan 4/177–178 oleh Ibnu Khollikan)
Berkali-Kali Khatam Kitab, Tidak Bosan
Al-Muzani berkata: “Saya membaca kitab ar-Risalah karya asy-Syafi’i sejak lima tahun yang lalu, setiap kali aku membacanya saya mendapatkan faedah baru yang belum aku dapatkan sebelumnya.” (Manaqib Syafi’i hlm. 114 oleh al-Aburri)
Ibnu Basykuwal menceritakan bahwa Abu Bakr bin Athiyyah mengulang-ngulang membaca kitab Shohih Bukhori sebanyak 700 kali.” (ash-Shilah 2/433)
Disebutkan dalam biografi Abbas bin Walid al-Farisi bahwa ditemukan dalam sebagian akhir kitabnya suatu tulisan: “Saya telah membacanya sebanyak 1.000 kali.” !!! (Thobaqot Ulama Afrika wa Tunis hlm. 224)
Abdulloh bin Muhammad, ahli fiqih dari Irak, beliau pernah membaca kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah (sekarang tercetak dengan 15 jilid) sebanyak 23 kali!! (Dzail Thobaqot Hanabilah2/411)
Mengusir Kantuk Dengan Membaca
Ibnul Jahm berkata: “Apabila kantuk menyerangku pada selain waktu tidur, maka saya segera mengambil kitab hikmah, lalu saya mendapati hatiku berbunga-bunga kegirangan ketika mendapatkan ilmu.” (al-Hayawan 1/53 oleh al-Jahidz)
Subhanalloh, bandingkan hal ini dengan perbuatan sebagian kita yang membaca justru dengan niat sebagai pengantar tidur!!!
Dilarang Oleh Ibunya Tetapi Dia Bersiasat
Imam Ibnu Tabban adalah seorang ulama yang bersemangat sangat tinggi dalam menuntut ilmu, sehingga dia pernah mempelajari kitab al-Mudawwanah sebanyak 1000 kali!!! Dia pernah berkata tentang dirinya: “Dahulu ketika saya awal-awal menuntut ilmu, saya gunakan seluruh malam untuk belajar, sehingga ibuku pernah melarangku dari membaca di malam hari. Akhirnya saya bersiasat untuk membuat lampu dan menaruhnya di bawah tempat tidur lalu saya berpura-pura tidur. Ketika saya rasa bahwa ibuku benar-benar telah tidur, maka saya keluarkan lampu dan melanjutkan belajar.” (Tartibul Madarik 1/78 al-Qodhi Iyadh)
Puluhan Ribu Orang Hadir di Majelis Mereka
Sejarah ulama dahulu sangat harum dengan semangat menuntut ilmu. Banyak di antara mereka berdesak-desakan membanjiri majelis ilmu. Berikut ini beberapa buktinya:
  • Diperkirakan bahwa jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Ashim bin Ali sebanyak seratus enam puluh ribu orang. (Tarikh Baghdad 12/248)
  • Diperkirakan bahwa jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Sulaiman bin Harb sebanyak empat puluh ribu orang. (al-Jarh wa Ta’dil 4/108)
  • Diperkirakan bahwa jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Imam Bukhori sebanyak dua puluh ribu orang lebih. (al-Jami’ li Akhlaq Rowi 2/53)
  • Diperkirakan bahwa jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Abu Muslim al-Kajji sebanyak empat puluh ribu orang lebih. (Tarikh Baghdad 6/121)
Dan masih banyak lagi data lainnya. (Dinukil dari Qoshoshun wa Nawadir li Aimmatil Hadits hlm. 70–72 oleh Dr. Ali bin Abdillah ash-Shoyyah)
Subhanalloh, pemandangan yang menakjubkan. Adapun pada zaman sekarang, kebanyakan manusia malah membanjiri tempat-tempat maksiat. Hanya kepada Alloh kita mengadukan semua ini!!!
Waktu Libur Tetapi Dia Tetap Hadir
Jika Alloh telah memberimu nikmat semangat untuk menuntut ilmu maka jagalah nikmat tersebut. Jangan sampai ia menghilang darimu karena ia adalah pertanda bahwa Alloh menghendaki kebaikan bagimu. Al-Askari menyebutkan bahwa Abul Hasan al-Karkhi berkata: “Saya selalu menghadiri majelis ilmu Abu Hazim pada hari Jum’at padahal hari itu tidak ada pelajaran. Aku lakukan hal itu agar kebiasaanku menghadiri majelis ilmu tidak hilang.” (al-Hatstsu ’ala Tholabil Ilmi hlm. 78)
Saudaraku, renungkanlah kisah di atas baik-baik. Dia meninggalkan keinginan dirinya dan berjuang melawan hawa nafsunya demi menuntut ilmu dan menjaga semangat tersebut agar tidak luntur. (Ma’alim fi Thoriq Tholabil Ilmi hlm. 69 oleh Abdul Aziz as-Sadhan)
Bandingkanlah hal ini dengan sikap sebagian kita yang malas menghadiri majelis ilmu dengan alasan-alasan lagu lama “maaf saya lagi sibuk”, “maaf saya lagi banyak urusan”, dan sebagainya. Alangkah indahnya ucapan penyair:
رَأَيْتُ النَاسَ يَشْكُوْنَ الزَّمَانَا    وَمَا لِزَماَنِنَا عَيْبٌ سِوَانَا
نَعِيْبُ زَمَانَنَا وَالْعَيْبُ فِيْنَا        وَلوْ نَطَقَ الزَّمَانُ بِهِ رَمَاناَ
Saya melihat banyak manusia mengeluh tentang waktu
Padahal tidak ada kesalahan pada waktu selain kita sendiri
Kita mencela waktu padahal yang salah adalah diri kita sendiri
Seandainya saja waktu bisa bicara tentu akan marah kepada kita. (Manaqib Imam Syafi’i hlm. 65 oleh al-Aburri)

Para ulama salaf telah memberi contoh terbaik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalammenuntut ilmu agama, meraihnya serta rindu kepadanya. Marilah wahai saudaraku tercinta, mengembara bersama kami untuk memetik mawar-mawar mereka.
Abdun bin Humaid berkata, ketika pertama kali duduk, Yahya bin Ma’in bertanya kepada saya tentang sebuah hadits. Saya sampaikan kepadanya, “haddatsana Hammad bin Salamah ‘an …“, Yahya bin Ma’in pun memotong “seandainya engkau membacakan hadits dari kitabmu niscaya itu lebih baik dan lebih kuat (validitasnya)”. Lalu aku katakan, “kalau demikian saya akan pergi untuk mengambil kitab saya”. Tiba-tiba Yahya bin Ma’in memegang bajuku dan berkata, “kalau begitu bacakan saja dari hafalanmu, karena saya khawatir tidak bertemu anda lagi (maksudnya ia khawatir Abdun bin Humaid wafat ketika mengambil kitab)”. Maka aku pun membacakannya dari hafalanku, lalu saya pergi mengambil kitabku dan membacakannya lagi (Al Jami’ li Akhlaqir Rawi Wa Adabis Sami’, Al Khatbib Al Baghdadi).
Syaikh Abdullah bin Hamud Az Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu Ali Al Qaali. Abu Ali memiliki kandang ternak di samping rumahnya. Beliau mengikat tunggangannya di sana. Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud Az Zubaidi, tidur di kandang ternaknya agar bisa mendahului murid-murid yang lain menjumpai sang guru sebelum mereka datang. Agar bisa mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Allah mentakdirkan Abu Ali keluar dari rumahnya sebelum terbit fajar. Az Zubaidi mengetahui hal tersebut dan langsung berdiri mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh seseorang dan khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya, Abu Ali berteriak, “celaka, siapa anda?”. Az Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az Zubaidi”. Abu Ali berkata, “sejak kapan anda membuntuti saya? Demi Allah tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih tahu tentang ilmu Nahwu selain anda, maka pergilah tinggalkan saya” (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).
Bayangkan! Semoga Allah menjaga anda wahai pembaca sekalian, betapa menggelora semangat Az Zubaidi untuk menuntut ilmu dan meraihnya. Kemauan keras yang membuat seorang murid rela tidur bersama ternaj agar bisa cepat menemui gurunya dan mengambil ilmu darinya. Bagaimana kita bisa dibandingkan dengan mereka?
Syu’bah bin Hajjaj datang menemui Khalid Al Hadza’ rahimahumallah. Lalu Syu’bah bin Hajjaj berkata, “wahai Abu Munazil, engkau memiliki hadits tentang ini dan itu, tolong ajari saya hadits tersebut”. Khalid ketika itu sedang sakit dan berkata, “saya sedang sakit”. Syu’bah berkata, “hanya satu hadits saja, tolong ajarkan kepadaku”. Khalid kemudian menyampaikan hadits tersebut. Setelah selesai, Syu’bah berkata kepadanya, “sekarang, anda boleh mati jika anda mau” (Syarafu Ash-habil Hadits, Al Khatib Al Baghdadi, 116).
Ja’far bin Durustuwaih berkata, “kami harus mengambil tempat duduk di sebuah majelis sejak ashar untuk mengikuti kajian esok hari, karena saking padatnya pengajian Ali bin Al Madini. Kami menempatinya sepanjang malam karena khawatir esoknya tidak mendapatkan tempat untuk mendengarkan kajiannya karena saking penuh sesaknya manusia. Saya melihat seorang yang sudah tua di majelis tersebut buang air kecil di jubahnya karena khawatir tempat duduknya diambil apabila ia berdiri untuk buang air” (Al Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, Al Khatib Al Baghdadi, 2/199).
Kisah seperti ini tidaklah mengherankan karena tempat kajian bukan di masjid tetapi di salah satu tempat yang luas di tengah kota atau di pinggirnya. Murid yang cerdas ini sedang menunggu kehadiran gurunya untuk menyampaikan pelajaran selain di waktu shalat, seperti shalat Shubuh atau Ashar atau antara Zhuhur dan Ashar. Dia ingin kencing namun takut kalau dia berdiri dari tempat duduknya maka akan diduduki oleh orang lain. Jadi dia kencingi jubahnya, dan tidak ada seorang pun yang melihat auratnya. Tempat kajian biasanya besar dan luas. Dia mengeluarkan jubahnya dan melipatnya. Ketika pelajaran usai, ia tumpahkan air seni dari jubahnya, kemudian mencucinya. Apa yang asing dari hal ini?
Abu Hatim berkata, saya mendengar Al Muzani mengatakan, Imam Asy Syafi’i pernah ditanya, “bagaimana semangatmu dalam menuntut ilmu?”. Beliau menjawab, “saya mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya dengar. Maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang dirasakan telinga”. Lalu beliau ditanya lagi, “bagaimana kerakusan anda terhadap ilmu?”. Beliau menjawab, “seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencapai kepuasan dengan hartanya”. Ditanya lagi, “bagaimana anda mencarinya?”. Beliau menjawab, “sebagaimana seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain selain dia” (Tawaalit Ta’sis bin Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar Al Asqalani, 106).
Ibnu Jandal Al Qurthubi berkata, saya pernah belajar pada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengannya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang sepagi ini tapi tetap saja tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah terowongan di samping rumahnya. Saya membuka dan masuk ke dalamnya. (Itu adalah sebuah terowongan di dalam tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan hingga keluar darinya menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Maka saya mencoba melebarkan terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran).
Sa’id bin Jubair berkata, “saya pernah bersama Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma berjalan di salah satu jalan di Mekkah pada malam hari. Dia mengajari saya beberapa hadits dan saya menulisnya di atas kendaraan dan paginya saya menulisnya kembali di kertas” (Sunan Ad Darimi, 1/105).
Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).
Salim Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini pada awalnya adalah seorang penjaga (satpam) di sebuah rumah. Beliau belajar ilmu dengan cahaya lampu di tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu membeli minyak tanah untuk lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki, 4/61).
Ibnu Asakir ketika menyebutkan biografi seorang hamba yang shalih, Abu Manshur Muhammad bin Husain An Naisaburi, beliau berkata, “beliau (Abu Manshur) adalah orang yang selalu giat dan semangat dalam belajar. Meski dalam keadaan faqir dan tidak punya. Sampai-sampai beliau menulis pelajarannya dan mengulangi membacanya di bawah cahaya rembulan. Karena tidak punya sesuatu untuk membeli minyak tanah. Walaupun beliau dalam keadaan faqir, namun beliau selalu hidup wara’ dan tidak mengambil harta yang syubhat sedikitpun” (Tabyiin Kidzbil Muftari, Ibnu Asakir Ad Dimasyqi).
Ditulis ulang dari buku “102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara“, hal 30-33, terbitan Elba – Surabaya, merupakan terjemahan dari kitab Kaifa Tatahammas fi Thalabil Ilmis Syar’i karya Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih Alu Abdillah














Sudah berapa juz Al Qur’an yang anda hafal?
Sudah berapa hadits yang anda hafal?
Berapa bab fiqih yang sudah anda kuasai?
Berapa kitab para ulama yang sudah khatam anda pelajari?
Sudah sejauh apa kita memahami agama kita ini..?
Semoga Allah menolong kita agar kita tidak termasuk orang-orang yang berpangku tangan, bermalas-malasan dan lalai dari mempelajari ilmu agama. Semoga juga kita bukan orang-orang yang belajar agama ala kadarnya dan seadanya, padahal ilmu agama ini begitu penting lebih penting dari makan dan minum. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Manusia lebih membutuhkan ilmu agama daripada roti dan air minum. Karena manusia butuh kepada ilmu agama setiap waktu, sedangkan mereka membutuhkan roti dan air hanya sekali atau dua kali dalam sehari” (Thabaqat Al Hanabilah, 1/390)
Kita perlu bercermin kepada para ulama salaf, yang telah memberi contoh terbaik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam menuntut ilmu agama, meraihnya serta rindu kepadanya. Marilah wahai saudaraku tercinta, kita simak bagaimana mereka menuntut ilmu dan renungkanlah dimana kita dibanding mereka?
Semangat Mendatangi Majelis Ilmu
Syaikh Abdullah bin Hamud Az Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu Ali Al Qaali. Abu Ali memiliki kandang ternak di samping rumahnya. Beliau mengikat tunggangannya di sana. Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud Az Zubaidi, tidur di kandang ternaknya agar bisa mendahului murid-murid yang lain menjumpai sang guru sebelum mereka datang. Agar bisa mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Allah mentakdirkan Abu Ali keluar dari rumahnya sebelum terbit fajar. Az Zubaidi mengetahui hal tersebut dan langsung berdiri mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh seseorang dan khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya, Abu Ali berteriak, “celaka, siapa anda?”. Az Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az Zubaidi”. Abu Ali berkata, “sejak kapan anda membuntuti saya? Demi Allah tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih tahu tentang ilmu Nahwu selain anda, maka pergilah tinggalkan saya” (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).
Ibnu Jandal Al Qurthubi berkata, saya pernah belajar pada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengannya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang sepagi ini tapi tetap saja tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah terowongan di samping rumahnya. Saya membuka dan masuk ke dalamnya. (Itu adalah sebuah terowongan di dalam tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan hingga keluar darinya menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Maka saya mencoba melebarkan terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran).
Semangat Belajar Dalam Keterbatasan
Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).
Salim Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini pada awalnya adalah seorang penjaga (satpam) di sebuah rumah. Beliau belajar ilmu dengan cahaya lampu di tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu membeli minyak tanah untuk lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki, 4/61).
Semangat Mencari Ilmu Walaupun Harus Melakukan Perjalanan Jauh
Abu Ad Darda radhiallahu’ahu mengatakan. “seandainya saya mendapatkan satu ayat dari Al Qur’an yang tidak saya pahami dan tidak ada seorang pun yang bisa mengajarkannya kecuali orang yang berada di Barkul Ghamad (yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Mekkah), niscaya aku akan menjumpainya”. Sa’id bin Al Musayyab juga mengatakan, “saya terbiasa melakukan rihlah berhari-hari untuk mendapatkan satu hadits” (Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/100).
Ibnul Jauzi menceritakan, “Imam Ahmad bin Hambal sudah mengelilingi dunia sebanyak 2 kali hingga ia bisa menulis kitab Al Musnad” (Al Jarh Wat Ta’dil, Ibnu Abi Hatim).
Imam Baqi bin Makhlad melakukan rihlah dua kali: dari Mesir ke Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar Mekkah) ke Baghdad (Irak) untuk menuntut ilmu agama. Rihlah pertama selama 14 tahun dan yang kedua selama 20 tahun berturut-turut (Tadzkiratul Huffadz, 2/630).
Rela Membelanjakan Banyak Harta Demi Ilmu
Khalaf bin Hisyam Al Asadi berkata, “saya mendapatkan kesulitan dalam salah satu bab di kitab Nahwu. Maka saya mengeluarkan 80.000 dirham hingga saya bisa menguasainya” (Ma’rifatul Qurra’ Al Kibar, Adz Dzahabi, 1/209)
Ayah dari Yahya bin Ma’in adalah seorang sekretaris Abdullah bin Malik. Ketika wafat, beliau meninggalkan 100.000 dirham untuk Yahya. Namun Yahya bin Ma’in membelanjakan semuanya untuk belajar hadits, tidak ada yang tersisa kecuali sandal yang bisa ia pakai (Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar, 11/282)
Ali bin Ashim bercerita, “ayahku memberiku 100.000 dirham dan berkata kepadaku: ‘pergilah (untuk belajar hadits) dan saya tidak mau melihat wajahmu kecuali kamu pulang membawa 100.000 hadits’” (Tadzkiratul Huffadz, Adz Dzahabi, 1/317).
Demikianlah para ulama kita. Semoga Allah membakar semangat-semangat kita untuk mempelajari agama ini, walaupun tidak bisa seperti semangatnya para ulama, setidaknya mendekati mereka.Allahumma yassir wa a’in.
Referensi utama:  buku “102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara“, terjemahan kitab “Kayfa tatahammas fi thalabil ‘ilmi asy syar’i” karya Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih Alu Abdillah, penerbit Elba Surabaya

Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Majalah Muslim.Or.Id