Alhamdulillah, rubrik Fawaid kini bisa hadir lagi untuk bertemu
dengan para pembaca tercinta sekalian setelah dua tahun libur sementara,
seakan-akan dia rindu dengan para pembaca dan semoga para pembaca juga
merindukan kehadirannya dan bersemangat mengambil manfaat darinya.
Nah, mengawali perjumpaan kita yang
baru ini, kami akan sampaikan beberapa potret semangat ulama salaf dalam
menuntut ilmu dengan banyak mengacu pada kitab al-Musyawwiq ilal
Qiro’ah wa Tholabil Ilmi karya Ali bin Muhammad, cetakan Dar
Alamil Fawaid, Makkah. Semoga kisah-kisah mereka dapat membakar semangat kita
dalam menuntut ilmu. Amiin.
Berdesakan Hingga
Mengakibatkan Kematian
Ishaq bin Abi Israil mengatakan:
“Para penuntut ilmu hadits berdesakan pada Husyaim sehingga membuatnya terjatuh
dari keledainya, dan itulah faktor penyebab kematiannya.” (Manaqib Imam
Syafi’i hlm. 167–168 oleh al-Aburri dan al-’Uzlah hlm. 89 oleh al-Khothobi)
Mirip dengan ini adalah kisah tentang
sebab kematian seorang ahli nahwu tersohor yaitu Tsa’lab. Dikisahkan bahwa dia
pernah keluar dari masjid usai sholat ashar pada hari Jum’at. Beliau memang
sedikit tuli. Di tengah-tengah sedang asyik membaca kitab sambil berjalan,
tiba-tiba ada kuda yang menabraknya sehingga dia tersungkur di sebuah lubang.
Akhirnya dia ditolong dan dikeluarkan dalam keadaan berlumpur kemudian
diantarkan ke rumah. Setelah itu dia merasakan sakit di bagian kepalanya dan
keesokan harinya meninggal dunia. (Wafayatul A’yan 1/104 oleh Ibnu Khollikan)
Tetap Belajar
Sekalipun di Depan Singa
Abul Hasan Bunan bin Muhammad bin Hamdan
adalah salah seorang ulama yang dikenal banyak memiliki karomah. Suatu saat
karena dia berani mengingkari Ibnu Thulun, maka dia dihukum dan dicampakkan di
depan singa. Sang singa pun menciuminya tetapi anehnya dia tidak menerkam Abul
Hasan. Akhirnya, dia pun dibebaskan. Orang-orang merasa heran dengan kejadian
tersebut. Seorang pernah bertanya kepada beliau: “Bagaimana perasaan Anda
tatkala berada di depan singa?” Beliau menjawab: “Saya tidak cemas sama sekali,
bahkan saat itu saya sedang memikirkan tentang air liur binatang buas serta
perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli fiqih, apakah suci ataukah najis!!!”
(al-Bidayah wa Nihayah 12/158 oleh Ibnu Katsir)
Mau Dipukul Asalkan
Mendapat Hadits
Dalam biografi Hisyam bin Ammar
disebutkan bahwa dia pernah masuk kepada Imam Malik tanpa izin seraya
mengatakan: “Ceritakanlah kepadaku hadits.” Imam Malik mengatakan: “Bacalah.”
Hisyam berkata: “Tidak, yang saya ingin adalah engkau menceritakan kepadaku
hadits.” Tatkala Hisyam sering mengulang-ngulang hal itu, maka Imam Malik
mengatakan: “Wahai pelayan, pukullah dia sebanyak lima belas kali.” Pelayan pun
memukul Hisyam lima belas kali lalu membawanya kepada Imam Malik. Hisyam
berkata kepada Imam Malik: “Kenapa engkau menzholimiku? Engkau telah memukulku
tanpa dosa yang kuperbuat. Aku tidak menghalalkanmu.” Imam Malik berkata:
“Terus, apa tebusannya?” Hisyam menjawab: “Tebusannya adalah engkau
menceritakan kepadaku lima belas hadits.” Maka beliau pun menceritakan lima
belas hadits kepada Hisyam. Hisyam berkata lagi kepada Imam Malik: “Tolong
tambahi lagi pukulannya sehingga Anda menambahi lagi hadits untukku.” Mendengar
itu, Imam Malik tertawa seraya mengatakan: “Pergilah kamu.” (Siyar A’lam
Nubala 3/4093 oleh adz-Dzahabi, cetakan
Baitul Afkar)
Mirip dengan hal ini adalah kisah rihlah (perjalanan jauh untuk menuntut ilmu)
yang dilakukan oleh Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Dikisahkan, ketika
mereka hendak pulang, mereka singgah di Imam Abu Nu’aim Fadhl bin Dukain karena
Yahya bin Ma’in ingin mengetes hafalannya. Setelah Imam Abu Nu’aim tahu bahwa
dirinya sedang dites, maka dia menendang Yahya bin Ma’in. Akhirnya, Imam Ahmad
berkata kepada Yahya: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu jangan mengetesnya
karena dia adalah seorang yang kuat hafalannya.” Yahya berkata: “Demi Alloh,
sungguh tendangannya lebih aku sukai daripada semua perjalananku ini.” (ar-Rihlah
fi Tholabil Hadits hlm. 207 oleh al-Khothib al-Baghdadi)
Semangat Menulis
yang Menakjubkan
As-Sam’ani menceritakan bahwa Imam
al-Baihaqi pernah tertimpa penyakit di tangannya, sehingga jari-jemarinya
dipotong semua, hanya tinggal pergelangan tangan saja. Sekalipun demikian,
beliau tidak berhenti dari menulis, beliau mengambil pena dengan pergelangan
tangannya dan meletakkan kertas di tanah seraya memeganginya dengan kakinya,
lalu menulis dengan tulisan yang indah dan jelas. Demikianlah hari-harinya,
sehingga setiap hari dia dapat menulis dengan tangannya kurang lebih sepuluh
lembar. “Sungguh, ini adalah pemandangan sangat menakjubkan yang pernah saya
lihat darinya,” kata as-Sam’ani. (at-Tahbir fil Mu’jam Kabir 1/223)
Termasuk semangat yang menakjubkan
pula adalah semangat Imam Ibnu Aqil yang telah menulis sebuah karya terbesar di
dunia yaitu al-Funun. Tahukah Anda
berapa jilid kitab tersebut? Sebagian mengatakan sebanyak 800 jilid dan ada
yang mengatakan 400 jilid. Imam adz-Dzahabi berkata: “Belum pernah ada di dunia
ini kitab yang lebih besar darinya. Seseorang pernah menceritakan kepadaku
bahwa dia pernah mendapati juz yang empat ratus lebih dari kitab tersebut.” (Tarikh
Islam 4/29)
Sekalipun demikian besarnya kitab
ini, tetapi sayangnya kitab ini termasuk perbendaharan umat Islam yang hilang,
belum diketahui sampai sekarang kecuali hanya satu jilid saja yang ditemukan di
perpustakaan Paris dan dicetak dalam dua jilid pada tahun 1970–1971.
(Muqoddimah Kamil Muhammad Khorroth terhadap Zahrul Ghushun min
Kitabil Funun hlm. 6)
Kitab Bikin Pusing
Istri Ulama
Kebiasaan Imam Zuhri, kalau masuk
rumah maka beliau meletakkan kitab-kitabnya bertumpukan di sekitarnya. Beliau
menikmati kesibukannya tersebut sehingga lalai dari segala urusan dunia
lainnya. Suatu saat istrinya pernah berkata padanya: “Demi Alloh, sungguh
kitab-kitab ini lebih berat bagiku daripada tiga istri sainganku!!!” (Wafayatul
A’yan 4/177–178 oleh Ibnu Khollikan)
Berkali-Kali Khatam
Kitab, Tidak Bosan
Al-Muzani berkata: “Saya membaca
kitab ar-Risalah karya asy-Syafi’i sejak lima tahun yang lalu, setiap kali aku membacanya
saya mendapatkan faedah baru yang belum aku dapatkan sebelumnya.” (Manaqib
Syafi’i hlm. 114 oleh al-Aburri)
Ibnu Basykuwal menceritakan bahwa Abu
Bakr bin Athiyyah mengulang-ngulang membaca kitab Shohih Bukhori sebanyak 700 kali.” (ash-Shilah 2/433)
Disebutkan dalam biografi Abbas bin
Walid al-Farisi bahwa ditemukan dalam sebagian akhir kitabnya suatu tulisan:
“Saya telah membacanya sebanyak 1.000 kali.” !!! (Thobaqot Ulama Afrika wa
Tunis hlm. 224)
Abdulloh bin Muhammad, ahli fiqih
dari Irak, beliau pernah membaca kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah (sekarang tercetak dengan 15 jilid) sebanyak 23
kali!! (Dzail Thobaqot Hanabilah2/411)
Mengusir Kantuk
Dengan Membaca
Ibnul Jahm berkata: “Apabila kantuk
menyerangku pada selain waktu tidur, maka saya segera mengambil kitab hikmah,
lalu saya mendapati hatiku berbunga-bunga kegirangan ketika mendapatkan ilmu.”
(al-Hayawan 1/53 oleh al-Jahidz)
Subhanalloh, bandingkan hal ini
dengan perbuatan sebagian kita yang membaca justru dengan niat sebagai
pengantar tidur!!!
Dilarang Oleh
Ibunya Tetapi Dia Bersiasat
Imam Ibnu Tabban adalah seorang ulama
yang bersemangat sangat tinggi dalam menuntut ilmu, sehingga dia pernah
mempelajari kitab al-Mudawwanah sebanyak 1000 kali!!! Dia pernah berkata tentang dirinya: “Dahulu ketika
saya awal-awal menuntut ilmu, saya gunakan seluruh malam untuk belajar,
sehingga ibuku pernah melarangku dari membaca di malam hari. Akhirnya saya
bersiasat untuk membuat lampu dan menaruhnya di bawah tempat tidur lalu saya
berpura-pura tidur. Ketika saya rasa bahwa ibuku benar-benar telah tidur, maka
saya keluarkan lampu dan melanjutkan belajar.” (Tartibul Madarik 1/78 al-Qodhi Iyadh)
Puluhan Ribu Orang
Hadir di Majelis Mereka
Sejarah ulama dahulu sangat harum dengan semangat menuntut ilmu. Banyak
di antara mereka berdesak-desakan membanjiri majelis ilmu. Berikut ini beberapa
buktinya:
- Diperkirakan bahwa
jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Ashim bin Ali sebanyak seratus
enam puluh ribu orang. (Tarikh Baghdad 12/248)
- Diperkirakan bahwa
jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Sulaiman bin Harb sebanyak empat
puluh ribu orang. (al-Jarh wa Ta’dil 4/108)
- Diperkirakan bahwa
jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Imam Bukhori sebanyak dua puluh
ribu orang lebih. (al-Jami’ li Akhlaq Rowi 2/53)
- Diperkirakan bahwa
jumlah orang yang hadir di majelis ilmu Abu Muslim al-Kajji sebanyak empat
puluh ribu orang lebih. (Tarikh Baghdad 6/121)
Dan masih banyak lagi data lainnya.
(Dinukil dari Qoshoshun wa
Nawadir li Aimmatil Hadits hlm. 70–72 oleh Dr. Ali bin Abdillah
ash-Shoyyah)
Subhanalloh, pemandangan yang
menakjubkan. Adapun pada zaman sekarang, kebanyakan manusia malah membanjiri
tempat-tempat maksiat. Hanya kepada Alloh kita mengadukan semua ini!!!
Waktu Libur Tetapi
Dia Tetap Hadir
Jika Alloh telah memberimu nikmat
semangat untuk menuntut ilmu maka jagalah nikmat tersebut. Jangan sampai ia
menghilang darimu karena ia adalah pertanda bahwa Alloh menghendaki kebaikan
bagimu. Al-Askari menyebutkan bahwa Abul Hasan al-Karkhi berkata: “Saya selalu
menghadiri majelis ilmu Abu Hazim pada hari Jum’at padahal hari itu tidak ada
pelajaran. Aku lakukan hal itu agar kebiasaanku menghadiri majelis ilmu tidak
hilang.” (al-Hatstsu ’ala Tholabil Ilmi hlm. 78)
Saudaraku, renungkanlah kisah di atas
baik-baik. Dia meninggalkan keinginan dirinya dan berjuang melawan hawa
nafsunya demi menuntut ilmu dan menjaga semangat tersebut agar tidak luntur. (Ma’alim
fi Thoriq Tholabil Ilmi hlm. 69 oleh Abdul Aziz as-Sadhan)
Bandingkanlah hal ini dengan sikap sebagian kita yang malas menghadiri
majelis ilmu dengan alasan-alasan lagu lama “maaf saya lagi sibuk”, “maaf saya
lagi banyak urusan”, dan sebagainya. Alangkah indahnya ucapan penyair:
رَأَيْتُ النَاسَ يَشْكُوْنَ الزَّمَانَا وَمَا
لِزَماَنِنَا عَيْبٌ سِوَانَا
نَعِيْبُ زَمَانَنَا وَالْعَيْبُ
فِيْنَا وَلوْ نَطَقَ الزَّمَانُ بِهِ
رَمَاناَ
Saya melihat banyak manusia mengeluh tentang waktu
Padahal tidak ada kesalahan pada waktu selain kita sendiri
Kita mencela waktu padahal yang salah adalah diri kita sendiri
Seandainya saja waktu bisa bicara
tentu akan marah kepada kita. (Manaqib Imam Syafi’i hlm. 65 oleh al-Aburri)
Para
ulama salaf telah memberi contoh terbaik dan teladan yang agung tentang
bagaimana bersemangat dalammenuntut ilmu agama, meraihnya serta rindu
kepadanya. Marilah wahai saudaraku tercinta, mengembara bersama kami untuk
memetik mawar-mawar mereka.
Abdun bin Humaid berkata, ketika pertama kali duduk, Yahya bin
Ma’in bertanya kepada saya tentang sebuah hadits. Saya sampaikan kepadanya, “haddatsana Hammad bin Salamah ‘an …“,
Yahya bin Ma’in pun memotong “seandainya engkau membacakan hadits dari kitabmu
niscaya itu lebih baik dan lebih kuat (validitasnya)”. Lalu aku katakan, “kalau
demikian saya akan pergi untuk mengambil kitab saya”. Tiba-tiba Yahya bin Ma’in
memegang bajuku dan berkata, “kalau begitu bacakan saja dari hafalanmu, karena
saya khawatir tidak bertemu anda lagi (maksudnya ia khawatir Abdun bin Humaid
wafat ketika mengambil kitab)”. Maka aku pun membacakannya dari hafalanku, lalu
saya pergi mengambil kitabku dan membacakannya lagi (Al Jami’ li Akhlaqir Rawi Wa Adabis
Sami’, Al Khatbib Al Baghdadi).
Syaikh Abdullah bin Hamud Az Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu
Ali Al Qaali. Abu Ali memiliki kandang ternak di samping rumahnya. Beliau
mengikat tunggangannya di sana. Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud
Az Zubaidi, tidur di kandang ternaknya agar bisa mendahului murid-murid yang
lain menjumpai sang guru sebelum mereka datang. Agar bisa mengajukan pertanyaan
sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Allah mentakdirkan Abu Ali keluar
dari rumahnya sebelum terbit fajar. Az Zubaidi mengetahui hal tersebut dan
langsung berdiri mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh
seseorang dan khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya,
Abu Ali berteriak, “celaka, siapa anda?”. Az Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az
Zubaidi”. Abu Ali berkata, “sejak kapan anda membuntuti saya? Demi Allah tidak
ada di muka bumi ini orang yang lebih tahu tentang ilmu Nahwu selain anda, maka
pergilah tinggalkan saya” (Inaabatur
Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).
Bayangkan! Semoga Allah menjaga anda wahai pembaca sekalian,
betapa menggelora semangat Az Zubaidi untuk menuntut ilmu dan meraihnya. Kemauan
keras yang membuat seorang murid rela tidur bersama ternaj agar bisa cepat
menemui gurunya dan mengambil ilmu darinya.
Bagaimana kita bisa dibandingkan dengan mereka?
Syu’bah bin Hajjaj datang menemui Khalid Al Hadza’ rahimahumallah.
Lalu Syu’bah bin Hajjaj berkata, “wahai Abu Munazil, engkau memiliki hadits
tentang ini dan itu, tolong ajari saya hadits tersebut”. Khalid ketika itu
sedang sakit dan berkata, “saya sedang sakit”. Syu’bah berkata, “hanya satu
hadits saja, tolong ajarkan kepadaku”. Khalid kemudian menyampaikan hadits
tersebut. Setelah selesai, Syu’bah berkata kepadanya, “sekarang, anda boleh
mati jika anda mau” (Syarafu
Ash-habil Hadits, Al Khatib Al Baghdadi, 116).
Ja’far bin Durustuwaih berkata, “kami harus mengambil tempat
duduk di sebuah majelis sejak ashar untuk mengikuti kajian esok hari, karena
saking padatnya pengajian Ali bin Al Madini. Kami menempatinya sepanjang malam
karena khawatir esoknya tidak mendapatkan tempat untuk mendengarkan kajiannya
karena saking penuh sesaknya manusia. Saya melihat seorang yang sudah tua di
majelis tersebut buang air kecil di jubahnya karena khawatir tempat duduknya
diambil apabila ia berdiri untuk buang air” (Al
Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, Al Khatib Al Baghdadi,
2/199).
Kisah seperti ini tidaklah mengherankan karena tempat kajian
bukan di masjid tetapi di salah satu tempat yang luas di tengah kota atau di
pinggirnya. Murid yang cerdas ini sedang menunggu kehadiran gurunya untuk
menyampaikan pelajaran selain di waktu shalat, seperti shalat Shubuh atau Ashar
atau antara Zhuhur dan Ashar. Dia ingin kencing namun takut kalau dia berdiri
dari tempat duduknya maka akan diduduki oleh orang lain. Jadi dia kencingi jubahnya,
dan tidak ada seorang pun yang melihat auratnya. Tempat kajian biasanya besar
dan luas. Dia mengeluarkan jubahnya dan melipatnya. Ketika pelajaran usai, ia
tumpahkan air seni dari jubahnya, kemudian mencucinya. Apa yang asing dari hal
ini?
Abu Hatim berkata, saya mendengar Al Muzani mengatakan, Imam Asy
Syafi’i pernah ditanya, “bagaimana semangatmu dalam menuntut ilmu?”.
Beliau menjawab, “saya mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya
dengar. Maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa
menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang dirasakan telinga”. Lalu beliau
ditanya lagi, “bagaimana kerakusan anda terhadap ilmu?”. Beliau menjawab,
“seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencapai kepuasan dengan
hartanya”. Ditanya lagi, “bagaimana anda mencarinya?”. Beliau menjawab,
“sebagaimana seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki
anak lain selain dia” (Tawaalit
Ta’sis bin Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar Al Asqalani,
106).
Ibnu Jandal Al Qurthubi berkata, saya pernah belajar pada Ibnu
Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih
dekat dengannya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke
majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya
berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang sepagi ini tapi tetap saja
tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah terowongan di
samping rumahnya. Saya membuka dan masuk ke dalamnya. (Itu adalah sebuah
terowongan di dalam tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan
hingga keluar darinya menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan
terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Maka
saya mencoba melebarkan terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian
saya terkoyak, dinding terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging
badan saya terkelupas. Allah menolong saya untuk bisa keluar darinya,
mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang
sangat memalukan seperti itu (Inaabatur
Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran).
Sa’id bin Jubair berkata, “saya pernah bersama Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma berjalan di salah satu jalan di Mekkah
pada malam hari. Dia mengajari saya beberapa hadits dan saya menulisnya di atas
kendaraan dan paginya saya menulisnya kembali di kertas” (Sunan Ad Darimi, 1/105).
Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal
bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia
tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya
mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar,
kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli
kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan
menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam
botol yang sudah tua” (Jami’u
Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).
Salim Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini
pada awalnya adalah seorang penjaga (satpam) di sebuah rumah. Beliau belajar
ilmu dengan cahaya lampu di tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu
membeli minyak tanah untuk lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga
(Thabaqatus Syafi’iyah Al
Kubra, Tajuddin As Subki, 4/61).
Ibnu Asakir ketika menyebutkan biografi seorang hamba yang
shalih, Abu Manshur Muhammad bin Husain An Naisaburi, beliau berkata, “beliau
(Abu Manshur) adalah orang yang selalu giat dan semangat dalam belajar. Meski
dalam keadaan faqir dan tidak punya. Sampai-sampai beliau menulis pelajarannya
dan mengulangi membacanya di bawah cahaya rembulan. Karena tidak punya sesuatu
untuk membeli minyak tanah. Walaupun beliau dalam keadaan faqir, namun beliau
selalu hidup wara’ dan tidak mengambil harta yang syubhat sedikitpun” (Tabyiin Kidzbil Muftari,
Ibnu Asakir Ad Dimasyqi).
—
Ditulis ulang dari buku “102
Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara“, hal 30-33, terbitan Elba
– Surabaya, merupakan terjemahan dari kitab Kaifa Tatahammas fi Thalabil Ilmis
Syar’i karya Abul
Qa’qa Muhammad bin Shalih Alu Abdillah
Sudah
berapa juz Al Qur’an yang anda hafal?
Sudah berapa hadits yang anda hafal?
Berapa bab fiqih yang sudah anda kuasai?
Berapa kitab para ulama yang sudah khatam anda pelajari?
Sudah sejauh apa kita memahami agama kita ini..?
Semoga Allah menolong kita agar kita tidak termasuk orang-orang
yang berpangku tangan, bermalas-malasan dan lalai dari mempelajari ilmu agama.
Semoga juga kita bukan orang-orang yang belajar agama ala kadarnya dan
seadanya, padahal ilmu agama ini begitu penting lebih penting dari makan dan
minum. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Manusia lebih membutuhkan ilmu agama
daripada roti dan air minum. Karena manusia butuh kepada ilmu agama setiap
waktu, sedangkan mereka membutuhkan roti dan air hanya sekali atau dua kali
dalam sehari” (Thabaqat
Al Hanabilah, 1/390)
Kita perlu bercermin kepada para ulama salaf, yang telah memberi
contoh terbaik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam
menuntut ilmu agama, meraihnya serta rindu kepadanya. Marilah wahai saudaraku
tercinta, kita simak bagaimana mereka menuntut ilmu dan renungkanlah dimana
kita dibanding mereka?
Semangat
Mendatangi Majelis Ilmu
Syaikh Abdullah bin Hamud Az Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu
Ali Al Qaali. Abu Ali memiliki kandang ternak di samping rumahnya. Beliau
mengikat tunggangannya di sana. Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud
Az Zubaidi, tidur di kandang ternaknya agar bisa mendahului murid-murid yang
lain menjumpai sang guru sebelum mereka datang. Agar bisa mengajukan pertanyaan
sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Allah mentakdirkan Abu Ali keluar
dari rumahnya sebelum terbit fajar. Az Zubaidi mengetahui hal tersebut dan
langsung berdiri mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh
seseorang dan khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya,
Abu Ali berteriak, “celaka, siapa anda?”. Az Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az
Zubaidi”. Abu Ali berkata, “sejak kapan anda membuntuti saya? Demi Allah tidak
ada di muka bumi ini orang yang lebih tahu tentang ilmu Nahwu selain anda, maka
pergilah tinggalkan saya” (Inaabatur
Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).
Ibnu Jandal Al Qurthubi berkata, saya pernah belajar pada Ibnu
Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih
dekat dengannya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke
majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya
berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang sepagi ini tapi tetap saja
tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah terowongan di samping
rumahnya. Saya membuka dan masuk ke dalamnya. (Itu adalah sebuah terowongan di
dalam tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan hingga keluar
darinya menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan terowongan yang
semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Maka saya mencoba
melebarkan terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak,
dinding terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya
terkelupas. Allah menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis
Syaikh dan menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan
seperti itu (Inaabatur
Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran).
Semangat
Belajar Dalam Keterbatasan
Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal
bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid).
Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai
upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang
pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk
membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya
mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya
menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu
‘Abdil Barr, 1/98).
Salim Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini
pada awalnya adalah seorang penjaga (satpam) di sebuah rumah. Beliau belajar
ilmu dengan cahaya lampu di tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu
membeli minyak tanah untuk lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus
Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki, 4/61).
Semangat
Mencari Ilmu Walaupun Harus Melakukan Perjalanan Jauh
Abu Ad Darda radhiallahu’ahu mengatakan. “seandainya saya
mendapatkan satu ayat dari Al Qur’an yang tidak saya pahami dan tidak ada
seorang pun yang bisa mengajarkannya kecuali orang yang berada di Barkul Ghamad
(yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Mekkah), niscaya aku akan menjumpainya”.
Sa’id bin Al Musayyab juga mengatakan, “saya terbiasa melakukan rihlah
berhari-hari untuk mendapatkan satu hadits” (Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir,
9/100).
Ibnul Jauzi menceritakan, “Imam Ahmad bin Hambal sudah
mengelilingi dunia sebanyak 2 kali hingga ia bisa menulis kitab Al Musnad” (Al Jarh Wat Ta’dil, Ibnu Abi Hatim).
Imam Baqi bin Makhlad melakukan rihlah dua kali: dari Mesir ke
Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar Mekkah) ke Baghdad (Irak) untuk
menuntut ilmu agama. Rihlah pertama selama 14 tahun dan yang kedua selama 20
tahun berturut-turut (Tadzkiratul
Huffadz, 2/630).
Rela
Membelanjakan Banyak Harta Demi Ilmu
Khalaf bin Hisyam Al Asadi berkata, “saya mendapatkan kesulitan
dalam salah satu bab di kitab Nahwu. Maka saya mengeluarkan 80.000 dirham
hingga saya bisa menguasainya” (Ma’rifatul Qurra’ Al Kibar, Adz
Dzahabi, 1/209)
Ayah dari Yahya bin Ma’in adalah seorang sekretaris Abdullah bin
Malik. Ketika wafat, beliau meninggalkan 100.000 dirham untuk Yahya. Namun
Yahya bin Ma’in membelanjakan semuanya untuk belajar hadits, tidak ada yang
tersisa kecuali sandal yang bisa ia pakai (Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar, 11/282)
Ali bin Ashim bercerita, “ayahku memberiku 100.000 dirham dan
berkata kepadaku: ‘pergilah (untuk belajar hadits) dan saya tidak mau melihat
wajahmu kecuali kamu pulang membawa 100.000 hadits’” (Tadzkiratul Huffadz, Adz Dzahabi,
1/317).
Demikianlah para ulama kita. Semoga Allah membakar
semangat-semangat kita untuk mempelajari agama ini, walaupun tidak bisa seperti
semangatnya para ulama, setidaknya mendekati mereka.Allahumma yassir wa a’in.
—
Referensi utama: buku “102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama
Membara“, terjemahan kitab “Kayfa tatahammas fi thalabil ‘ilmi asy
syar’i” karya Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih Alu Abdillah, penerbit Elba
Surabaya
Penyusun: Yulian Purnama